Mendapatkan
cobaan hidup dalam bentuk apapun dan berhasil lepas dari kesulitannya, bagi
orang bijak, hal itu adalah pengalaman bernilai yang mungkin tidak akan dialami
oleh setiap orang. Beberapa dari mereka menjadikan pengalaman berharga itu
sebagai cermin untuk memperbaiki keadaan agar berubah menjadi lebih baik.
Kick
Andy mengundang tiga orang tamu yang pernah mengalami cobaan hidup yang didapat
dari anak-anak mereka. Meski akhirnya ada yang harus kehilangan buah hati
mereka, tetapi cinta dan kenangan pada sang anak telah menjadikan mereka
bersemangat dan bangkit untuk berbuat sesuatu. Berharap agar kesulitan itu
tidak membelit orang lain seperti yang pernah mereka alami.
Siapa
yang tak kenal Henry Yosodiningrat? Pengacara kondang yang garang di
depan pengadilan. Siapa sangka Henry yang tak gentar membela apapun yang ia
yakini benar, kemudian harus berhadapan dengan sang anak yang teramat ia kasihi
ternyata menjadi pengguna narkoba. Segala hal untuk membantu sang anak terlepas
dari jerat candu sudah dilakukan. Mulai dari pendekatan religius, militer,
hingga jalan kekerasan pernah ia terapkan. Tapi semua tidak membawa hasil.
Putera yang dia harapkan dan ia banggakan sepertinya tak lagi menjadi dirinya
sendiri.
Mungkin kitapun seperti berkaca pada pengalaman mantan pesepakbola Indonesia, Ronny Patinasarany - saat kedua anaknya juga pernah terjerat obat-obat terlarang itu. Mengejar dan menjadi pemburu para sindikat pun pernah Henry lakukan. Tak segan ia main hakim terhadap jaringan sindikat yang telah merusak anaknya dan juga sekian ribu anak bangsa yang terjebak narkoba. Teror serta serangan para anggota jaringan sindikat pernah ia lawan. Selain kegemasan atas merajalelanya kejahatan narkoba yang mulai terorganisasi dengan baik dan merasa bahwa perjuangannya yang sendiri tak mungkin bisa mengatasi persoalan begitu gawat itu akhirnya mendorong Henry dan 14 rekannya membuat organisasi yang diberi nama “Gerakan Nasional Anti-Narkotika” (GRANAT) pada 28 Oktober 1999.
Mungkin kitapun seperti berkaca pada pengalaman mantan pesepakbola Indonesia, Ronny Patinasarany - saat kedua anaknya juga pernah terjerat obat-obat terlarang itu. Mengejar dan menjadi pemburu para sindikat pun pernah Henry lakukan. Tak segan ia main hakim terhadap jaringan sindikat yang telah merusak anaknya dan juga sekian ribu anak bangsa yang terjebak narkoba. Teror serta serangan para anggota jaringan sindikat pernah ia lawan. Selain kegemasan atas merajalelanya kejahatan narkoba yang mulai terorganisasi dengan baik dan merasa bahwa perjuangannya yang sendiri tak mungkin bisa mengatasi persoalan begitu gawat itu akhirnya mendorong Henry dan 14 rekannya membuat organisasi yang diberi nama “Gerakan Nasional Anti-Narkotika” (GRANAT) pada 28 Oktober 1999.
Cobaan
yang datang dari anak tercinta juga menimpa keluarga Ruswandi dan Watty.
Pasangan Ruswandi dan Watty tak menyangka bahwa anak ketiganya Ade Resa
Mukti Saffat menyandang Thalassaemia mayor. Penyakit kelainan darah
genetik diakibatkan oleh sumsum tulang yang tidak mampu memproduksi sel-sel
darah merah yang mengandung cukup haemoglobin. Ciri-cirinya seperti anemia,
tetapi diturunkan dan belum ada obatnya. Solusi satu-satunya selama ini adalah
melalui transfusi darah. Thalassaemia telah menjadikan Resa pun harus menjalani
transfusi darah setiap bulan mulai dari usia 10 bulan hingga 20 tahun. Usia
yang masih cukup muda ketika Resa harus berpulang kepada Yang Maha Kuasa.
Sebagai orang tua penderita Thalassaemia, Ruswandi dan Watty merasakan benar
kesulitan yang dialami orang tua ketika harus menyediakan dana dalam rangka
memperpanjang umur sang buah hati. Tekad yang tulus untuk mengurangi penderita
Thalassaemia di Indonesia, menjadikan Ruswandi sebagai seorang ayah yang pernah
merasakan apa yang dirasa para orang tua penderita membuat perkumpulan. Akhirnya
pada tahun 1984 bersama lima orang kawannya, termasuk istrinya, mendirikan
Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia (POPTI). Dan sejak tahun 1987,
perhimpunan itu berubah menjadi Yayasan Thalassaemia Indonesia.
Kisah
mengharukan juga terjadi pada pasangan Dewi Farida dan Donny Ardianta
Passa, yang anak keduanya, Bilqis Anindya Passa menderita penyakit
langka yaitu atresia billier. Suatu keadaan dimana saluran empedu tidak
terbentuk atau tidak berkembang secara normal dengan sirosis hepatis yang progresif.
Anda ingat dengan Koin Cinta Bilqis? Sebuah gerakan sosial pengumpulan
dana untuk mengetuk hati para donatur untuk ikut menyumbang demi operasi
transplantasi hati Bilqis di Jepang. Meski manusia berencana, tetapi Tuhan
berkehendak lain. Proses pengobatan dan kondisi perkembangan penyakit Bilqis
yang seperti berlomba-lomba, menjadikan Bilqis akhirnya berpulang pada Yang
Kuasa di usia19 bulan. Dewi Farida adalah sosok seorang ibu yang tegar, kokoh
dan tak mengenal lelah untuk terus berjuang untuk menyelamatkan sang anak
tercinta. Pengorbanannya dan pengalaman ketika menjaga dan merawat buah hatinya
menumbuhkan rasa sayang dan cinta untuk berbagi dengan sesama hingga
menimbulkan inspirasi untuk melakukan gerakan Koin Cinta Bilqis. Kini Koin
Cinta Bilqis tidak akan berhenti disitu, karena Koin Cinta Bilqis akan terus
berguna dan didedikasikan untuk anak-anak Indonesia yang mengalami gangguan
kesehatan atresia bilier melalui Yayasan Bilqis Sehati, Peduli Atresia
Bilier Indonesia. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar